Model identitas sosial atau afiliasi budaya memandang disabilitas sebagai bagian dari identitas seseorang yang terbentuk dari keanggotaannya dalam suatu kelompok sosial. Model ini mengakui bahwa disabilitas dapat membentuk pengalaman, sudut pandang, dan hubungan seseorang, serta berkontribusi pada terbentuknya budaya yang khas.

Contoh dari model ini paling jelas terlihat pada komunitas Tuli, di mana budaya dan identitas Tuli tumbuh kuat akibat persamaan mendasar dalam cara berkomunikasi, yaitu melalui penggunaan bahasa isyarat. Komunitas Tuli tidak melihat diri mereka sebagai penyandang disabilitas, melainkan sebagai komunitas yang memiliki bahasa dan budaya tersendiri. Bagi komunitas Tuli, bahasa isyarat merupakan sumber kebanggaan dan kontribusi nyata mereka terhadap keberagaman budaya dunia.

Kelebihan

  • Menerima disabilitas sebagai bagian dari identitas yang dapat dibanggakan;
  • Mendorong pengakuan atas hak, pengalaman, dan kontribusi penyandang disabilitas dalam masyarakat (contoh: bahasa isyarat);
  • Menumbuhkan rasa keterikatan (sense of belonging) antar anggota yang tergabung dalam komunitas disabilitas yang sama;
  • Keberadaan komunitas dapat memperkuat posisi penyandang disabilitas dalam memperjuangkan perubahan.

Kekurangan

  • Menimbulkan perasaan terpinggirkan bagi penyandang disabilitas yang dianggap tidak memenuhi ekspektasi komunitas disabilitas tersebut;
  • Keterasingan dari masyarakat luas jika terlalu terikat dengan komunitas tertentu.

Contoh

  • Konsep “Deaf Culture” atau budaya Tuli, yang mencakup seluruh nilai dan tradisi yang dimiliki oleh komunitas Tuli, termasuk didalamnya bahasa isyarat. Berbeda dengan bahasa lisan yang menggunakan Bahasa Inggris sebagai bahasa universal, tidak terdapat bahasa isyarat global, melainkan bahasa isyarat lokal yang dikembangkan oleh komunitas Tuli setempat. Di Indonesia sendiri, komunitas Tuli menggunakan Bahasa Isyarat Indonesia (BISINDO) dan memperjuangkan pengakuannya sebagai bahasa resmi yang mencerminkan cara mereka berkomunikasi dan mengekspresikan diri.
  • Berbagai peringatan “hari kebanggaan” (pride day) komunitas disabilitas, seperti Disability Pride Month yang dirayakan setiap bulan Juli, Neurodiversity Pride Day yang dirayakan setiap tanggal 16 Juni, dan Autistic Pride Day yang dirayakan pada tanggal 18 Juni. Hari kebanggaan disabilitas tidak hanya menjadi perayaan identitas dan budaya disabilitas, tetapi juga bertujuan untuk mengubah stigma di masyarakat dengan menegaskan bahwa disabilitas bukanlah kekurangan yang patut dikasihani, melainkan bagian alami dari keberagaman manusia yang layak untuk dirayakan.