Ilustrasi oleh Rifat Najmi

Beberapa tahun lalu, saya mengalami transisi besar dalam hidup: dari seseorang yang dapat melihat dan dengan mudah mengakses berbagai informasi, menjadi individu dengan gangguan penglihatan. Perubahan ini tidak hanya mengubah cara pandang saya secara harfiah, tetapi juga membuat saya merasa benar-benar terputus dari dunia, khususnya dunia digital.

Sebagai seseorang yang terbiasa menjalani aktivitas berbasis teknologi, kondisi tersebut membawa tantangan yang sangat besar. Aktivitas sederhana seperti membaca pesan, menjelajahi internet, atau membuka dokumen tiba-tiba menjadi hal yang sulit, bahkan mustahil. Untuk mengakses informasi paling dasar sekalipun, saya harus bergantung pada bantuan orang lain. Rasa kehilangan kendali atas kehidupan sehari-hari pun tidak bisa dihindari.

Titik balik mulai terjadi ketika saya mengenal teknologi asistif, khususnya pembaca layar. Bagi saya, ini bukan sekadar perangkat lunak, melainkan jembatan yang menghubungkan kembali saya dengan dunia. Dengan teknologi ini, saya kembali bisa menggunakan komputer dan ponsel secara mandiri, membaca informasi, dan berkomunikasi dengan orang lain seperti sebelumnya.

Lebih dari itu, kehadiran teknologi yang aksesibel memungkinkan saya untuk melanjutkan proses belajar dan membangun kembali karier. Saya memutuskan untuk mendalami bidang pemrograman dan pengujian perangkat lunak, bidang yang hingga kini menjadi profesi saya. Dengan bantuan teknologi asistif, saya dapat menulis dan meninjau kode, menjalankan pengujian otomatis, serta membuat laporan pengujian layaknya profesional lain. Pengalaman ini menunjukkan bahwa ketika teknologi dirancang secara inklusif, ini mampu memberdayakan, bukan membatasi.

Namun, dalam perjalanannya, saya masih sering menghadapi berbagai hambatan nyata. Sebagai contoh, banyak platform pembelajaran daring yang tidak kompatibel dengan pembaca layar. Elemen-elemen visual seperti grafik interaktif, menu dropdown tanpa label yang jelas, atau tombol tanpa keterangan membuat materi sulit diakses. Akibatnya, saya harus mencari alternatif belajar lain yang belum tentu setara kualitasnya, atau bahkan tidak tersedia sama sekali.

Di luar konteks pembelajaran, hambatan juga muncul dalam kehidupan sehari-hari. Aplikasi mobile banking, misalnya, sering kali memperbarui tampilan antarmuka tanpa mempertimbangkan kompatibilitas dengan teknologi asistif. Bahkan untuk sekadar mengecek saldo rekening, saya pernah harus meminta bantuan orang lain karena pembaca layar tidak dapat membaca isi aplikasi tersebut. Situasi seperti ini tentu menimbulkan frustrasi, karena sejatinya teknologi diciptakan untuk mempermudah kehidupan, bukan sebaliknya.

Saya meyakini bahwa aksesibilitas bukanlah fitur tambahan, melainkan hak dasar. Setiap individu, termasuk penyandang disabilitas, berhak mendapatkan akses yang setara terhadap informasi dan layanan digital. Oleh karena itu, penting bagi semua pihak, khususnya pengembang dan penyedia layanan digital untuk memahami dan mengintegrasikan prinsip inklusivitas sejak tahap awal perancangan produk.

Melalui tulisan ini, saya berharap semakin banyak pihak menyadari bahwa hambatan yang dihadapi oleh penyandang disabilitas itu nyata dan sistemik. Dengan peningkatan kesadaran dan kolaborasi lintas sektor, saya percaya kita dapat bersama-sama membangun ekosistem digital yang benar-benar inklusif bagi semua.

Tentang Putri

Saya Putri Rokhmayati, seorang tunanetra yang saat ini bekerja sebagai Quality Assurance Engineer di sebuah perusahaan yang bergerak di bidang geospatial technology.