Ilustrasi oleh Aqila Fathimah Karim

Halo aku Dhina. 35 tahun. Aku adalah seorang guru kimia. Setiap hari, tugasku adalah berbagi ilmu, menyalakan semangat, dan membimbing siswaku memahami dunia sains. Namun, di balik senyum yang mereka lihat di kelas, aku hidup dengan Rheumatoid Arthritis (RA) Seronegatif (diagnosa tegak april 2025) penyakit autoimun yang membuat sendi-sendi terasa nyeri dan kaku. Lutut kiri kananku telah di artroskopi karena mengalami pembengkakan.

Pagi hari sering menjadi waktu yang paling berat. Saat tubuh lain siap memulai aktivitas, aku harus berjuang melawan rasa sakit yang membuat langkahku tertatih. Tapi aku percaya, setiap langkah kecil menuju kelas adalah sebuah kemenangan.

Mengajar bukan sekadar pekerjaanku, melainkan sumber kekuatan. Saat aku melihat siswaku antusias belajar, semangat mereka seolah menjadi obat bagiku. Rasa nyeri itu ada, tetapi cintaku pada dunia pendidikan jauh lebih besar.

Hidup dengan Rheumatoid Arthritis (RA) bukan hanya tentang menahan rasa nyeri di sendi. Hambatan terberat justru muncul dalam hal-hal sederhana yang orang lain anggap sepele.

Bagi orang lain, pergi ke toilet adalah aktivitas biasa. Tapi bagiku, itu sering menjadi tantangan besar. Saat rasa kaku menyerang, untuk sekadar duduk atau berdiri butuh tenaga ekstra. Sendi-sendi yang sakit membuat gerakan kecil terasa seperti perjuangan panjang. Kadang aku harus menahan lebih lama, menunggu tubuhku cukup kuat untuk bergerak. Itu melelahkan, sekaligus membuatku sadar betapa berharganya kesehatan yang dulu sering aku abaikan.

Begitu juga ketika ada kegiatan fisik di sekolah—apel, olahraga bersama, atau sekadar berjalan agak jauh. Aku selalu ingin ikut serta, tapi tubuhku tidak selalu mendukung. Kadang aku terpaksa hanya menyaksikan dari pinggir, mencoba menyembunyikan rasa sedih saat teman-teman lain bisa bergerak bebas. Rasanya ada dinding tak terlihat yang membatasi, meski hatiku ingin melompat dan berlari seperti dulu.

Namun, di balik semua itu, aku belajar menerima. Aku tahu RA memberi batas, tapi bukan untuk menghentikanku. Hambatan-hambatan itu justru mengajarkanku arti sabar, arti syukur, dan arti kekuatan yang sesungguhnya—kekuatan untuk tetap melangkah meski terbatas.

Aku belajar bahwa RA tidak bisa menghalangiku untuk berkarya. Justru dari sakit inilah aku menemukan makna sabar, syukur, dan keteguhan. Aku ingin siswaku melihat, bahwa seorang guru bukan hanya mengajarkan teori dan rumus, tetapi juga keteguhan hati dalam menghadapi ujian hidup.

Bagi diriku, penyakit ini bukan akhir. Ia hanyalah bagian dari perjalanan. Aku memilih untuk tetap berdiri, tetap tersenyum, dan tetap mengajar—karena setiap keterbatasan bisa menjadi jalan menuju keberkahan.


Aku berharap suatu hari nanti aku bisa lebih leluasa bergerak tanpa rasa nyeri yang membelenggu. Aku ingin kembali menikmati aktivitas ringan tanpa harus khawatir akan kaku atau sakit yang tiba-tiba datang. Harapanku sederhana—bisa hidup lebih nyaman dengan kondisi ini, sambil tetap melakukan yang terbaik sebagai seorang guru kimia.

Aku juga berharap bisa terus memberi inspirasi kepada siswaku, bukan hanya lewat pelajaran di kelas, tetapi lewat kisah nyata tentang perjuangan dan kesabaran. Aku ingin mereka melihat bahwa keterbatasan bukan alasan untuk berhenti, melainkan alasan untuk berusaha lebih kuat.

Di atas segalanya, aku berharap Allah memberi kekuatan dan kesembuhan, meski sekecil apapun, agar aku bisa terus berdiri di depan kelas, tersenyum, dan berbagi ilmu dengan hati yang lapang. Karena bagiku, setiap hari adalah kesempatan baru untuk belajar, berjuang, dan bersyukur.

Tentang Dhina

Aku adalah seorang guru kimia yang hidup dengan Rheumatoid Arthritis, penyakit autoimun yang menyerang sendi dan sering membuat langkah terasa berat. Meski rasa nyeri dan kaku tak jarang menemani, aku berusaha tetap berdiri di depan kelas dengan senyum, membagikan ilmu, dan menyalakan semangat siswaku. Bagiku, RA bukan akhir, melainkan jalan untuk belajar lebih sabar, lebih kuat, dan lebih bersyukur.