Judul lengkap: Hidup dengan OCD dan depresi: Antara profesi, stigma, dan perjalanan tubuh yang tertinggal

Saya tidak memilih untuk hidup dengan OCD (Obsessive Compulsive Disorder) dan depresi. Tetapi sejak saya menerima diagnosis itu di 2021, hidup saya berubah. Tidak hanya dalam keseharian, tetapi juga dalam cara orang lain melihat saya, dan lebih menyakitkan lagi, dalam cara saya melihat diri saya sendiri.

Sebagai seorang legal counsel yang bekerja di dunia start-up, saya bekerja di dunia yang menuntut kecepatan, ketepatan, rasionalitas, dan ketahanan. Dunia hukum tidak memberi banyak ruang untuk kelemahan, dan dunia start-up tidak memberi banyak waktu untuk memfokuskan perhatian kepada diri sendiri. Semua orang berharap saya selalu sigap, logis, dan stabil. Namun dengan OCD dan depresi, kenyataan saya sangat berbeda. Pikiran yang berulang-ulang, dorongan untuk harus mengulang sesuatu sampai terasa “benar,” rasa cemas yang menempel tanpa henti, semuanya membuat saya lelah bahkan sebelum hari kerja dimulai. Depresi menghisap energi saya, membuat bangun pagi saja rasanya seperti menabrakkan badan sendiri ke dinding bata.

Bukan hanya beban mental itu sendiri yang bertubi-tubi menghantam saya, tetapi juga cara publik memperlakukannya. OCD sering dijadikan lelucon. Orang sering bercanda “Ah, kamu hanya senang beres-beres aja”, atau "Oh, kalau begitu ayo sini bantu aku merapikan lemariku!", seolah-olah OCD hanya soal meja kerja yang tertata sempurna atau buku yang tersusun warna-warni. Padahal OCD bukan sekadar kerapihan. OCD adalah rasa takut yang terus menghantui, pikiran mengganggu yang tidak bisa dimatikan, siklus tak berujung yang menguras jiwa.

Depresi pun kerap diremehkan. Saya pernah mendengar komentar: “Orang legal kok depresi, kamu harusnya kan tahan banting?” atau bahkan sindiran halus bahwa saya “tidak stabil". Kata-kata itu menusuk. Karena di dunia hukum, reputasi adalah segalanya. Integritas, kestabilan, kemampuan berpikir jernih, itulah kualitas utama yang dihargai, yang "paling diperlukan". Maka ketika saya dicap “tidak stabil” hanya karena saya berani mengakui kondisi mental saya, rasanya semua kerja keras saya bertahun-tahun dapat dengan mudah runtuh begitu saja.

Saya pernah disarankan oleh orang-orang di sekitar pekerjaan saya untuk tidak mengungkapkan kondisi ini ke siapapun. Mereka bilang, “Jangan sampai banyak orang kantor tahu. Mau jadi apa kantor ini kalau legal counselnya gila, tidak stabil?”. Mendengar itu, saya semakin sadar bahwa stigma bukan hanya datang dari canda atau komentar kasar, tetapi juga dari ketakutan kolektif yang membuat kesehatan mental harus disembunyikan rapat-rapat. Ada rasa getir: mengapa saya harus menutupi sesuatu yang begitu nyata, hanya agar orang lain bisa terus merasa nyaman dengan persepsinya?

Stigma itu tidak berhenti di kantor. Hal ini merembes ke kehidupan pribadi saya, termasuk hubungan saya dengan tubuh saya. Olahraga sempat memiliki bagian cukup besar dari hidup saya. Saya pernah (memaksa diri sendiri untuk) rajin ke gym dan jogging di pagi hari, dan olahraga sempat menjadi pelarian saya, karena banyak orang di sekitar saya yang bilang "Kamu kurang gerak. Makanya rajin olahraga, pasti rasanya enakan". Saya ingin berolahraga, tetapi OCD membuat saya terjebak dalam perfeksionisme yang membunuh langkah pertama. “Kalau tidak bisa sempurna, lebih baik jangan.” Akhirnya tubuh saya melemah. Saya melihat otot yang dulu ada kini hilang, stamina saya merosot, dan setiap kali bercermin, saya merasa semakin jauh dari diri yang dulu saya kenal. Hal ini pun kemudian menjadi salah satu pemicu kembalinya depresi saya, yang kemudian saya coba lawan dengan kembali mencoba olahraga lagi. Siklus ini selalu berputar, sehingga kondisi dan berat badan saya selalu naik-turun cukup drastis dan terus-menerus selama 5 tahun terakhir.

Kadang saya merasa kehilangan dua hal sekaligus: pikiran saya dan tubuh saya. Saya merasa jauh tertinggal dari teman-teman saya yang bisa bekerja tanpa beban ini, yang bisa berolahraga dengan riang tanpa dilumpuhkan rasa takut dan kelelahan.

Tetapi di tengah semua kelelahan itu, saya masih menemukan cahaya. Saya bersyukur memiliki seorang terapis yang dengan sabar membimbing saya. Ia mengajarkan saya bahwa saya tidak sendirian, bahwa saya selalu bisa mencoba lagi, bahwa pikiran yang paling gelap sekalipun bisa ditantang, dan bahwa bernapas satu kali lagi sudah cukup sebagai alasan untuk bertahan. Mungkin saya tidak akan ada di sini hari ini jika bukan karena bantuannya.

Saya juga mulai belajar bahwa perjalanan ini bukan tentang kembali menjadi “saya yang dulu.” Perjalanan ini tentang menemukan versi baru dari diri saya: seseorang yang mungkin tidak sekuat dulu secara fisik, tetapi lebih peka terhadap dirinya sendiri. Seseorang yang mungkin sesekali jatuh, tetapi tahu bagaimana caranya bangkit perlahan. Dan yang paling penting, saya sekarang sudah belajar untuk menjadi seseorang yang berdamai dengan kondisi yang dia miliki.

Saya masih menghadapi stigma. Masih ada orang yang bercanda tentang OCD di hadapan saya, masih ada bisikan tentang depresi yang dianggap kelemahan. Tetapi saya ingin berkata: OCD bukan soal rapi. Depresi bukan soal kurang motivasi atau bad mood. Keduanya adalah kondisi yang nyata. Orang-orang dengan kondisi ini bukanlah pecundang, bukan pula orang lemah. Kami berjuang setiap hari dengan beban yang tak terlihat, dan perjuangan itu sendiri adalah bukti kekuatan.


Saya seorang legal counsel. Saya seorang perempuan. Saya juga seseorang yang hidup dengan OCD dan depresi. Semua itu adalah bagian dari diri saya. Saya tidak akan membiarkan stigma menentukan nilai saya, meskipun saya tahu jalan ini masih panjang dan akan selalu penuh tantangan. Saya tidak bisa memilih kondisi saya, tapi semoga saya akan bisa selalu mengingatkan diri sendiri untuk selalu memilih untuk terus melangkah, sekecil apa pun langkah itu.

Tentang Wina

Wina adalah seorang pekerja start-up yang menavigasi hari-harinya di industri fintech sembari mencari keseimbangan di antara diagnosa OCD dan depresi yang ia miliki.