Peringatan Konten:
Tulisan ini mengandung menggunakan bahasa eksplisit untuk pengalaman sensitif tentang kesehatan mental dan trauma masa kecil.Judul lengkap: Ketika Rumah Menjadi Luka Batin: Sebuah Cerita tentang GAD dan Ketidaktenangan yang Tak Berujung hingga Dewasa.
Tepat tahun lalu, saya memutuskan untuk pergi berobat ke psikiater setelah menjalani kebiasaan rutinitas yang turut mengganggu hidup saya. Keputusan ini saya buat setelah merasakan efek samping dari kecemasan yang tidak terkontrol secara fisik dan mental, serta realita yang terasa jauh berbeda dengan apa yang saya rasakan. Saya seorang anak pertama perempuan—tumbuh besar dengan keluarga otoritas kontrol yang kuat, kekerasan, tekanan terhadap pencapaian yang besar, dan sikap protektif berlebih sebagai bagian dari pola asuh di lingkungan yang sangat normatif tradisional (patriarkis) dan komunal. Sebagai contoh gambaran, saya dipukul dan di kunci dalam toilet lebih dari 2-3 jam saat tidak ingin sekolah kelas 4 SD. Saya dianggap anak nakal, dan memori tersebut membekas kepada saya hingga umur 23 tahun sekarang.
Saya tidak memiliki ruang untuk bisa tenang dengan diri saya sendiri, dimana orang disekitar selalu mengintervensi segala aspek kehidupan saya. Sejak saya SMP, saya selalu mengunci diri di kamar berhari-hari untuk merasa tenang, tidak makan lebih dari 3-5 hari, dan melakukan self-harm untuk membuat saya tenang. Jika rumah dan kamar tidak cukup membuat saya tenang, saya akan melarikan diri dari rumah selama 2-4 hari ketika berkonflik, dan bunuh diri sering terlintas di pikiran jika memungkinkan sejak SMP.
Tepat saat tingkat tahun pertama SMA, saya menjadi korban perundungan oleh guru dan teman-teman saya. Mungkin karena kepribadian saya yang keterlaluan dan berbeda saat itu, dan saya tidak memiliki sense of belonging dengan lingkungan saya. Jujur, rasa ingin menghilang dari dunia tersebut kembali muncul, dan kematian menjadi opsi pilihan yang terlintas kembali disaat emosi saya terus bergejolak. Saya putuskan untuk berpindah sekolah karena merasa tidak lagi aman di lingkungan tersebut, dan dengan lingkungan dan pola asuh yang cukup restriktif terhadap apa yang dianggap salah dan besar, orang tua kembali menyalahkan saya sebagai individu yang bermasalah. Sejak itu, saya putuskan untuk pindah dari kota kecil ini, untuk memiliki kebebasan yang tak pernah saya miliki sebelumnya.
Kehidupan terus berlanjut hingga saya merantau ke Pulau Jawa untuk studi sarjana, dengan dinamika hubungan benci dan cinta dengan keluarga yang tidak pernah menjadi ruang aman bagi saya untuk bersuara. Merantau memberikan kontrol penuh (liberty) terhadap hidup saya. Saya capai segala hal yang ingin saya raih (hustling) di bangku kuliah dengan IPK yang tinggi, mengikuti lomba, membantu riset penelitian, dan mencari uang sampingan kecil-kecilan sejak umur 19 tahun. Secara tidak sadar, kebiasaan tersebut berdampak besar pada pola gangguan tidur yang berantakan, paranoid dengan lingkungan sekitar, dan memiliki sensitivitas yang cukup tinggi terhadap hal sekitar. Saya cukup gelisah dengan banyak hal termasuk hal-hal kecil di sekitar saya, dan pencapaian tersebut tidak pernah membuat saya puas.
Terkadang, di tiap malam saat saya sendirian, saya tidak bisa tidur dengan rasa sakit kepala yang mencekam. Saya menangis kembali mengingat pengalaman saya di masa lampau di kampung halaman dan terjaga hampir di tiap malam. Saya sering mencari ketenangan di tengah malam untuk beraktivitas, karena hari-hari saya pasti selalu ada intervensi dari pihak luar. Saya jumpai terapis untuk menyelesaikan permasalahan ini, namun rasa gundah dan gelisah tersebut tidak kunjung hilang.
November 2024, saya di diagnosis Generalized Anxiety Disorder (GAD), disertai OCD oleh ahli kejiwaan (psikiater) di salah satu rumah sakit swasta di Bekasi. Inisiatif tersebut muncul karena kesibukan pekerjaan di Jakarta yang memperkeruh pikiran dan mengganggu saya kembali secara fisik. Saya kembali mengurung diri dan tidur di kamar 3 hari berturut-turut karena tidak ada energi untuk beraktivitas. Orang-orang kantor menghantui pikiran saya secara negatif terus menerus, dan saya tidak bisa mengontrol berbagai probabilitas dan skenario buruk yang terjadi di pikiran saya. Saya ingin pikiran saya bersih dan tenang, saya terus merasa ingin pergi dari orang-orang karena berbagai skenario negatif terus muncul di pikiran saya setiap saat. Terkadang, ada berbagai obsesi dan ketidaknyamanan yang muncul di pikiran ketika saya menjalani kehidupan sehari-hari saya. Dan akhirnya, saya pergi berkonsultasi ke ahli medis untuk memulihkan diri setelah bertahun-tahun lamanya.
Saya diberikan resep obat psikiatris termasuk obat tidur, riklona 2-2 MG tablet, dogmatil 50 mg kapsul, dan kalxetin 20 MG kapsul untuk menghentikan segala pikiran yang muncul dipikiran saya. Saya ingin kembali rehat dengan tenang, dan dapat kembali bekerja dengan baik dan tenang. Saya gunakan uang tabungan saya untuk terapi obat dan kontrol dokter selama kurang lebih 2-3 bulan. Pilihan berkonsultasi ke medis telah memvalidasi ketidakpastian perasaan saya yang telah berkalut bertahun-tahun, dan saya merasa baikan setelahnya.
Saya berobat dengan perubahan gaya hidup seperti pola makan dan olahraga yang lebih teratur, dengan pikiran yang jauh lebih mudah tenang untuk beristirahat. Meskipun begitu, terkadang, masih banyak kegelisahan yang muncul di kehidupan saya sampai sekarang. Banyak hal yang ingin konsultasikan lebih lanjut terhadap iritabilitas saya terhadap banyak hal (suara, visual, hal-hal kotor, lingkungan, rekognisi pola) yang saya asumsikan secara bagian dari gejala gangguan obsesif kompulsif (OCD) yang kemungkinan saya miliki ke ahli medis lebih lanjut. Namun, masih belum ada kesempatan karena kebutuhan finansial, dan saya tidak memiliki BPJS yang bisa mengkover kebutuhan mental saya secara personal.
Terkadang, rasa stress dan gelisah tersebut kembali menghantui saya saat saya dihadapkan dengan berbagai tekanan lingkungan yang terjadi di kehidupan saya. Saya terus pesimistis, merasa tidak puas, dan tidak pernah merasa cukup bahkan saat saya menggapai prestasi saya di usia sekarang.
Saya berharap saya dapat kembali berkonsultasi dengan ahli medis atau kejiwaan mengenai pikiran saya yang tidak pernah tenang, dan semoga dapat memberikan coping mechanism yang lebih baik dalam menghadapi kehidupan yang terus menerus mempertajam resilience saya sampai sekarang. Saya bersyukur dengan teman saya yang terus menerus mendengar berbagai kegelisahan saya dan memberikan solusi terhadap berbagai situasi yang saya jalankan. Saya harap saya memiliki teman seperjuangan yang sama, dan dapat membantu memahami diri saya lebih lanjut sebagai manusia.