Saya adalah penyandang ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder) yang didiagnosis pada usia 24 tahun. Sebelum diagnosis itu, pertanyaan-pertanyaan ini selalu menghantui: Kenapa saya selalu merasa kewalahan, reaktif, dan mudah marah? Kenapa fokus saja terasa sangat sulit? Kenapa saya sering dianggap "bermasalah" atau "drama" sejak kecil?
Kecelakaan lalu lintas yang saya alami di usia 23 tahun seakan menjadi pemicu semua pertanyaan itu. Dari hasil diagnosis, saya sadar bahwa jawabannya bukan karena saya lemah atau tidak kompeten, melainkan karena saya telah melakukan "masking."
Ya, selama hidup dan bersekolah, saya melakukan "masking." Sayangnya, gangguan belajar seperti ADHD dan Autisme lebih mudah dideteksi pada anak laki-laki. Karena dibesarkan sebagai perempuan, peran gender dan norma sosial membuat saya terpaksa menutupi disabilitas saya demi mengikuti ekspektasi masyarakat. Penyandang ADHD sering kali ditandai dengan hiperaktif, namun hal itu tidak terlihat pada saya. Saya baru menyadarinya ketika saya sudah dewasa dan masuk ke dunia kerja.
Sistem pendidikan di Indonesia sering kali kurang ramah dan tidak aksesibel bagi mereka dengan gangguan belajar. Meskipun harus menavigasi sistem yang kejam, saya berhasil melakukan "masking." Nilai saya selalu bagus, selalu ranking di kelas, dan berhasil masuk ke Perguruan Tinggi Negeri untuk melanjutkan pendidikan S1. Padahal, indikasi umum gangguan belajar adalah "kegagalan" di sekolah, misalnya nilai yang buruk atau kesulitan memperhatikan guru. Saya tidak menunjukkan itu. Saya dianggap cukup berfungsi dan bahkan bisa melanjutkan pendidikan hingga S2. Namun, hal ini memiliki batasannya, yaitu saat saya mengalami kecelakaan lalu lintas di usia 23 tahun.
Bahkan, saat S1, saya sempat dikatakan memiliki kecenderungan BPD (Borderline Personality Disorder) oleh seorang psikolog karena emosi saya yang sangat reaktif. Saya sempat menginternalisasi label itu, hingga akhirnya menyadari bahwa diagnosis tersebut tidak terasa "pas."
Sebelum berangkat ke Glasgow, Skotlandia, untuk melanjutkan S2, saya memutuskan untuk mendapatkan diagnosis resmi. Saya mendapat surat diagnosis dari psikiater yang kemudian saya laporkan ke NHS (semacam BPJS di UK) dan layanan disabilitas di kampus saya. Di sini, saya mendapatkan dukungan yang saya tidak pernah dapatkan selama sekolah di Indonesia; obat gratis, dukungan seorang Tutor dari kampus untuk mengakomodasi disabilitas saya. Tetapi setidaknya, saat itulah saya merasa "terlihat." Untuk pertama kalinya, ada yang mengonfirmasi bahwa saya tidak salah; cara kerja otak saya hanya berbeda dari kebanyakan orang. Namun, ironisnya, kenapa saya harus pergi ke Barat dulu agar disabilitas saya bisa dianggap valid?
Saat cerita ke orang-orang tentang diagnosis ADHD saya, bahkan setelah menunjukkan surat resmi, respons yang saya dapat terkadang berbunyi seperti: “Tapi kamu biasa-biasa aja, tuh?” dan itu rasanya seperti dianggap remeh. Bagi saya, mendapatkan diagnosa adalah suatu hal yang sangat penting. Saya tidak tahu bahwa selama ini saya memiliki disabilitas. Saya merasakan bahwa mendapatkan validasi dari seorang psikiater dapat mengubah pandangan hidup saya sepenuhnya. Komentar semacam itu menunjukkan bahwa pemahaman publik tentang disabilitas masih sangat sempit dan dibatasi oleh yang tampak secara fisik. Seakan-akan ternyata orang seperti saya itu masih yang bisa “diterima” oleh mereka walau saya tahu saya “berbeda”.
Menceritakan ini kepada kedua orang tua saya merupakan hal yang cukup sulit. Sayangnya, masih banyak stigma terkait gangguan belajar. Pada umumnya, orang-orang yang memliki gangguan belajar pasti selalu dianggap "luar biasa" dengan konotasi negatif, hanya karena otak mereka berbeda walau hal tersebut merupakan bawaan dari lahir. Tidak ada yang minta. Tidak ada yang mau. Kalau bisa, saya mungkin juga lebih memilih jadi "normal." Ibu saya sempat mempertanyakan dan bingung, mengapa anak perempuannya bisa begini? Beliau sempat khawatir dan heran, banyak pertanyaan yang muncul, dan merasa bersalah seakan-akan mengira bahwa ia membesarkan saya dengan cara yang salah walau sebenarnya bukan demikian. Hal tersebut cukup butuh waktu lama untuk dijelaskan, tapi untungnya bukan hal yang mustahil. Saya ingat ketika saya bawa Ibu saya ke psikiater saya agar Ibu saya memahami kondisi yang saya miliki, dan Ibu saya akhirnya bisa pelan-pelan menerima. Ayah saya justru menganggap bahwa ADHD saya adalah semacam "superpower." Respon Ayah saya menjadi salah satu sumber motivasi saya agar saya tetap jalani hidup ini dan berdamai dengan kondisi saya.
Perjalanan saya bukan lah hal yang mudah. Saya yang termasuk mampu secara fisik dan memiliki disabilitas tak tampak ini terkadang masih menginternalisasi bahwa otak saya "tidak mampu." Padahal, sistem yang sebenarnya membuat saya "tidak mampu." Individu, baik dengan disabilitas apapun, berhak diperlakukan secara adil.
Saya tahu bahwa saya berada di posisi beruntung. Tapi apakah saya bisa duduk tenang mengetahui bahwa banyak orang lain seperti saya di luar sana yang bahkan tidak tahu kalau mereka mungkin belum didiagnosa?
Ableisme tidak hanya lekat kepada mereka yang "normal", namun juga kepada kami yang memilikinya.
Isu perjuangan disabilitas merupakan suatu hal yang panjang dan butuh waktu; yang perlu kita harus lihat juga adalah, gangguan belajar dan gangguan perkembangan otak lainnya, adalah sebuah spektrum. Kesehatan adalah sebuah spektrum. Bukan hanya sekedar memenuhi kriteria sebuah diagnosa. Bukan hanya sekedar kalau "sakit" harus terlihat "tidak berdaya." Kita harus mulai mempertanyakan mengapa masyarakat menentukan apa yang "normal" dan apa yang "tidak normal." "Normal" itu untuk siapa, apa, dan sebagainya.
Tentang Samantha
MSc Global Mental Health (University of Glasgow). Tertarik dengan isu kesehatan inklusif, perjuangan disabilitas, keberagaman gender & seksualitas, dan dekolonisasi.