Tubuh ini membawa daftar penyakit yang terasa lebih panjang dari namaku: Idiopathic Thrombocytopenic Purpura, hipertiroid, osteopenia, osteonekrosis, arthritis ringan, hiperkoagulasi, dan depresi.
Aku tidak pernah memintanya. Tapi di sinilah aku, hidup berdampingan dengannya hampir lima tahun.
Banyak orang mengira penyakit kronis hanya soal rutin minum obat atau sesekali kontrol ke dokter. Mereka tidak melihat kenyataan bahwa ini adalah perjuangan tanpa akhir yang menguji bukan hanya fisik, tapi juga mental, setiap hari.
Bangun pagi saja sudah seperti menaklukkan Ironman Triathlon. Tubuh terasa berat, sendi-sendi nyeri, dan rasa lelahnya tidak pernah benar-benar hilang. Hal-hal sederhana seperti mandi, menyiapkan pakaian dan sarapan sangatlah menguras energi seolah aku sudah bekerja seharian. Dan itu baru awal, baru permulaan hari.
Bekerja pun bukan perkara mudah. Persiapan untuk berangkat ke kantor saja sudah memakan banyak energi. Saat bekerja, aku berusaha keras menjalankan tugas dengan baik. Aku tahu aku bisa, aku pernah bisa. Tapi sekarang, tubuhku berbeda. Seolah mengkhianatiku. Namun, apa pilihanku selain terus mencoba, terus berusaha? Dunia tidak berhenti hanya karena tubuhku meminta istirahat. Tetap ada tagihan yang harus dibayar dan pekerjaan yang tetap harus diselesaikan.
Mencari pekerjaan baru? Itu cerita lain. Bahkan jika ada perusahaan yang mau menerima kondisiku, sering kali lingkungan kerjanya tidak ramah disabilitas. Membuatku merasa diterima secara profesional, tapi ditolak secara fisik. Dan rasa itu sangat menyakitkan.
Bahkan untuk sekadar hangout atau pergi bersama teman pun penuh perhitungan. Banyak tempat tidak ramah bagiku. Semuanya seperti pesan diam bahwa aku “tidak diundang.” Sering kali aku ingin spontan berkata “ya” saat diajak keluar, tapi realitanya aku harus bertanya pada diriku sendiri: Apakah tempatnya aksesibel? Apakah ada kursi nyaman saat aku lelah? Apakah aku sanggup pulang tanpa kehabisan tenaga?
Kadang, aku menang melawan semua itu. Ada hari-hari di mana tubuhku cukup kuat untuk bekerja, bertemu teman, atau melakukan hal yang aku suka. Kemenangan kecil itu berarti segalanya. Bukan karena aku sembuh atau mengabaikan kondisi kesehatanku, tapi karena aku ingin merasa hidup. Namun kemenangan itu tidak datang setiap hari. Ada hari-hari di mana aku kalah, dan di hari-hari itu, aku sering mendengar komentar seperti, “Kamu nggak jaga badan, ya?” atau “Maksa sih, pantesan drop lagi.”
Yang sering dilupakan orang adalah, pertempuranku bukan hanya di tubuh, tapi juga di pikiran. Setiap kali kalah, aku harus melawan rasa bersalah, rasa takut, dan rasa tidak berdaya. Dan jujur saja, pertarungan mental ini sama beratnya, kadang lebih berat, daripada rasa sakit fisik itu sendiri.
Aku tidak butuh belas kasihan. Yang aku butuh adalah pengertian. Mengerti bahwa setiap senyum, setiap tawa, setiap langkah keluar rumah adalah hasil dari perjuangan panjang yang tidak terlihat. Mengerti bahwa aku berhak menikmati hidup saat aku berhasil menang. Mengerti bahwa di balik penampilanku yang “terlihat sehat,” ada tubuh dan hati yang terus berjuang untuk bertahan.
Karena bagiku, setiap hari yang berhasil kujalani, betapapun beratnya, adalah bukti bahwa aku masih di sini. Masih bernapas. Masih melawan.
Chronic illness is not just “being sick.”
It’s carrying a battle in your body and your mind,
every single day.
If I had one wish,
I wouldn’t ask for beauty, or fame.
I’d ask to be a normal girl for just one day.
Just for one day.
Is it too much to ask?
One day without pain.
One day without exhaustion.
One day without feeling broken.
The cruelest thing is, my illnesses are invisible.
You see my smile,
but not the way I bite it through pain.
You see me laugh,
but not the weight I’m holding inside.
Some days I win.
Those days, I do the things I love.
Not because I’m cured,
but because I’m still alive.
Some days I lose.
Those days, I hear the whispers,
“She’s not taking care of herself.”
“She’s pushing too hard.”
What do you expect from me?
To stay in bed forever?
To stop living completely?
My fight is not just in my blood, bones, and joints,
it’s in my mind.
And that fight matters just as much.
I don’t need pity.
I need you to understand,
that every smile, every laugh, every small joy
is a victory.
A victory worth celebrating.