Pada mulanya adalah kata, selanjutnya diskriminasi.
Memahami sudut pandang dan menggunakan bahasa yang tepat tentang disabilitas adalah bentuk rasa hormat. Seiring meningkatnya kesadaran dan upaya inklusi, muncul gerakan untuk menghaluskan istilah (eufemisme). Tujuannya bukan sekadar membuatnya terdengar sopan, tetapi juga mengurangi stigma terhadap individu dengan disabilitas. Karena itu, penting untuk menghindari istilah yang menyinggung atau sudah usang, serta menghargai preferensi setiap individu dalam menyebut istilah disabilitasnya.
Salah satu topik penting dalam bahasa yang inklusif adalah people-first language dan identity-first language.
People-first language
Pendekatan people first-language menempatkan individunya terlebih dahulu sebelum disabilitasnya, untuk menekankan bahwa individu lebih penting daripada disabilitasnya. Pendekatan ini adalah pendekatan yang lebih umum, dan juga digunakan dalam Konvensi PBB tentang Hak-Hak Penyandang Disabilitas (UNCRPD).
Contoh istilah people-first:
- Individu dengan disabilitas tuli
- Individu yang menggunakan kursi roda
Identity-first language
Pendekatan identity-first language menempatkan identitas disabilitas di depan, untuk menunjukkan bahwa disabilitas merupakan bagian dari identitas mereka. Bahasa ini sering digunakan pegiat disabilitas dalam komunitasnya.
Contoh istilah identity-first:
- Teman Tuli (huruf besar pada “Tuli” menunjukkan identitas sebagai bagian dari budaya Tuli)
Dalam konteks Indonesia
Di Indonesia, istilah “penyandang cacat” sudah diganti menjadi “penyandang disabilitas” sesuai UU No. 8 Tahun 2016 yang mencabut UU No. 4 Tahun 1997. Namun, di KBBI, kata “penyandang” juga berarti “penderita”, sehingga bisa menimbulkan stigma bahwa disabilitas adalah kondisi menyusahkan dan sebatas dilihat dari model medis saja sebagai suatu penyakit.
Padahal, dalam model sosial, disabilitas tidak berasal dari kondisi tubuh, tetapi dari hambatan buatan manusia di lingkungan, seperti bangunan, sistem, kebijakan, atau sikap yang tidak inklusif. Karena itu, istilah yang lebih sejajar seperti “individu dengan disabilitas” lebih direkomendasikan, karena menghormati individu dan menghindari makna negatif yang melekat pada kata “penyandang”.
Istilah lain yang digunakan di Indonesia adalah “difabel” (berasal dari bahasa inggris “differently abled”), yang populer di kalangan aktivis dan pegiat hak disabilitas.
Tips: tanyakan langsung
Pendekatan identity-first language maupun people-first language secara umum sama-sama pantas. Namun, tiap individu dengan disabilitas memiliki preferensi masing-masing. Saat berbicara kepada atau tentang individu dengan disabilitas, sebaiknya tanyakan langsung istilah mana yang mereka sukai.
Penggunaan istilah
Bias masih ada, baik dalam sikap maupun bahasa yang digunakan. Penggunaan kata yang salah dapat melanggengkan stigma negatif terhadap individu disabilitas. Berikut adalah beberapa contoh istilah yang negatif atau telah usang beserta rekomendasi penggantinya.
Istilah negatif | Istilah yang direkomendasikan |
---|---|
Cacat / tidak sempurna / tidak normal | Disabilitas |
Orang yang menderita disabilitas / tertimpa musibah | Orang dengan disabilitas |
Orang gila | Orang dengan gangguan mental |
Hindari juga menganggap disabilitas sebagai “orang yang menginspirasi” atau “pemberani” hanya dikarenakan mereka memiliki disabilitas. Sikap ini sering muncul ketika aktivitas sehari-hari yang biasa saja dianggap luar biasa jika dilakukan oleh individu dengan disabilitas. Hal ini disebut “inspiration porn”, yaitu saat disabilitas dijadikan bahan kagum atau iba berlebihan.
Frasa/lelucon derogatif
Terkadang, jenis disabilitas dipakai sebagai ejekan atau label untuk individu non-disabilitas. Ini bisa memperkuat stigma negatif dan merendahkan makna disabilitas itu sendiri. Misalnya, menyebut orang yang tidak hafal arah sebagai “buta arah” dapat menambah stereotip buruk terhadap individu dengan disabilitas visual. Contoh lain, menyebut orang yang sedang asik dengan dunianya sendiri sebagai "autis", menjadikan kondisi autisme sebagai ejekan.