Pada mulanya adalah kata, selanjutnya diskriminasi.

— Muhammad Hambali, Disabilitas & Narasi Ketidaksetaraan

Memahami sudut pandang orang lain dan peka terhadap bahasa seputar disabilitas menunjukkan rasa hormat terhadap martabat mereka. Seiring meningkatnya kesadaran dan inklusi, istilah-istilah pun berkembang. Usaha penghalusan istilah (eufemisme) ini bukan sekedar supaya terdengar lebih halus dan sopan, tetapi perubahan ini adalah langkah awal untuk mengurangi stigma terhadap individu dengan disabilitas. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk menghindari istilah yang menyinggung atau sudah usang, serta mengetahui preferensi seseorang dengan disabilitas dalam penggunaan istilah disabilitasnya.

People-first language

Rekomendasi yang lebih umum adalah menggunakan bahasa yang mendahulukan individu. Pendekatan ini menekankan bahwa individu lebih penting daripada disabilitasnya. Bahasa ini digunakan dalam Konvensi PBB tentang Hak-Hak Penyandang Disabilitas (UNCRPD).

Contoh istilah people-first:

  • Individu dengan disabilitas tuli
  • Individu yang menggunakan kursi roda

Identity-first language

Beberapa individu dengan disabilitas lebih memilih bahasa yang mendahulukan identitas, yaitu menempatkan disabilitasnya di awal untuk menunjukkan bahwa hal itu merupakan bagian penting dari identitas mereka. Bahasa ini sering digunakan oleh para pegiat disabilitas dalam komunitas mereka sendiri.

Contoh istilah identity-first:

Teman Tuli (huruf besar pada “Tuli” menunjukkan identitas sebagai bagian dari budaya Tuli)

Dalam konteks Indonesia

Di Indonesia, istilah “penyandang cacat” sudah tidak lagi dipakai, dan digantikan oleh “penyandang disabilitas”. Hal ini dapat dilihat dari UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas yang mencabut UU No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat.

Namun, menurut KBBI, kata "penyandang" dapat berarti "penderita”. Penggunaan kata ini bisa memberikan stigma bahwa disabilitas dianggap sebagai kondisi yang menyusahkan, dan dilihat sebatas dari model medis saja, yaitu sebagai suatu penyakit. Padahal, dalam konteks model sosial, disabilitas bukan berasal dari kondisi tubuh seseorang, tetapi dari hambatan buatan manusia dalam lingkungan sosial, seperti bangunan, sistem, kebijakan, atau sikap yang tidak inklusif. Oleh karena itu, penggunaan istilah yang lebih sejajar, seperti "individu dengan disabilitas" lebih direkomendasikan. Istilah ini menekankan penghormatan terhadap individu dan menghindari makna negatif yang melekat pada kata "penyandang". Istilah lain yang digunakan di Indonesia adalah "difabel" yang berasal dari bahasa Inggris, “differently abled”. Istilah ini umum digunakan oleh aktivis dan pegiat hak disabilitas.

Tips: tanyakan langsung

Pendekatan identity-first language maupun people-first language secara umum sama-sama pantas. Namun, tiap individu dengan disabilitas memiliki preferensi masing-masing. Saat berbicara kepada atau tentang individu dengan disabilitas, sebaiknya tanyakan langsung istilah mana yang mereka sukai.

Penggunaan istilah

Bias masih ada, baik dalam sikap maupun bahasa yang digunakan. Penggunaan kata yang salah dapat melanggengkan stigma negatif terhadap individu disabilitas. Berikut adalah beberapa contoh istilah yang negatif atau telah usang beserta rekomendasi penggantinya.

Istilah negatifIstilah yang direkomendasikan
Cacat / tidak sempurna / tidak normalDisabilitas
Orang yang menderita disabilitas / tertimpa musibahOrang dengan disabilitas
Orang gilaOrang dengan gangguan mental

Berkaitan dengan inspiration porn, perlu dihindari juga menganggap teman disabilitas sebagai “orang yang menginspirasi” atau “pemberani” jika inspirasi tersebut datang hanya karena mereka memiliki disabilitas. Ini sering terjadi ketika aktivitas sehari-hari yang dilakukan teman disabilitas dianggap luar biasa, padahal sebenarnya hal tersebut biasa saja jika dilakukan oleh non-disabilitas.

Frasa/lelucon derogatif

Selain itu, sering ditemukan juga penggunaan frasa yang bisa memperkuat stigma negatif terhadap individu dengan disabilitas, atau penggunaan jenis disabilitas untuk melabeli orang non-disabilitas yang justru bisa menurunkan makna dari disabilitas itu sendiri.

Contoh pertama adalah frasa "buta arah", yang sering digunakan untuk menggambarkan seseorang yang tidak hafal arah jalan. Penggunaan istilah ini bisa memperkuat stereotip negatif terhadap individu dengan disabilitas visual.

Contoh kedua adalah menyebut orang yang sedang asik dengan dunianya sendiri sebagai "autis". Ini merupakan bentuk pelabelan yang merendahkan, karena menggunakan kondisi autisme sebagai ejekan.