Model ekonomi menekankan keterbatasan individu dalam bekerja karena disabilitas dianggap menurunkan produktivitas. Akibatnya, disabilitas dipandang sebagai faktor risiko ekonomi bagi individu (kehilangan pekerjaan, berkurangnya pendapatan), bagi pemberi kerja (turunnya margin keuntungan, biaya akomodasi tambahan), dan bagi negara (meningkatnya tunjangan, layanan sosial, atau program kesehatan). Perspektif ini menjadikan disabilitas sebagai masalah finansial yang perlu diatur atau dikompensasi.

Model ini juga kerap dijadikan dasar penilaian administratif untuk menentukan siapa yang berhak menerima bantuan, tunjangan disabilitas, atau jaminan sosial. Cara pandang ini membuat disabilitas sering kali direduksi hanya menjadi “biaya”. Penyederhanaan ini berisiko menimbulkan stigma terhadap penyandang disabilitas.

Jika seseorang tidak memenuhi kriteria hukum sebagai penyandang disabilitas, mereka bisa kehilangan dukungan meskipun jelas mengalami hambatan dalam keseharian. Lebih dari itu, model ekonomi dapat memperkuat pandangan diskriminatif di masyarakat. Misalnya, pekerja dengan disabilitas sebagai beban finansial alih-alih individu dengan kontribusi yang berbeda.

Kelebihan

Model ekonomi mengakui bahwa keterbatasan fisik maupun mental dapat berdampak langsung pada kemampuan seseorang untuk bekerja dan mencari nafkah. Dengan perspektif ini, muncul dasar argumentasi untuk menyediakan dukungan ekonomi, subsidi, atau akomodasi kerja agar individu dengan disabilitas tetap dapat bekerja dan berpartisipasi. Selain itu, model ini membantu pemerintah dan pemberi kerja menghitung kebutuhan tunjangan, merancang program pelatihan kerja, dan membentuk kebijakan inklusif di pasar tenaga kerja.

Kekurangan

Kekurangan utama dari model ekonomi adalah mereduksi nilai penyandang disabilitas hanya pada aspek produktivitas dan kontribusi finansial. Hal ini dapat menimbulkan stigma bahwa disabilitas merupakan beban ekonomi yang harus ditanggung masyarakat, sekaligus mengabaikan potensi non-ekonomi seperti kontribusi sosial, budaya, atau pengetahuan. Sistem kategorikal yang kaku juga membuat sebagian orang kehilangan dukungan meskipun mengalami hambatan nyata dalam kesehariannya, hanya karena tidak memenuhi definisi hukum yang berlaku. Terlebih lagi, perspektif ini dapat menghambat inklusi di tempat kerja karena pemberi kerja melihat disabilitas sebagai kerugian finansial alih-alih peluang untuk mendapatkan kontribusi yang beragam.

Contoh

Dalam praktiknya, pekerja dengan disabilitas kerap menerima gaji lebih rendah karena dianggap tidak mampu menyamai performa rekan kerjanya. Seorang tunanetra bisa mengalami kesulitan untuk mengakses pinjaman modal karena lembaga keuangan menilainya sebagai nasabah berisiko. Di sisi lain, sistem tunjangan disabilitas dapat mengurangi atau bahkan menghilangkan bantuan ketika penerima mulai bekerja, sehingga menciptakan disinsentif untuk bekerja. Kondisi ini membuat sejumlah pemberi kerja enggan merekrut pekerja dengan disabilitas karena khawatir biaya akomodasi akan menurunkan margin keuntungan. Tidak heran, model ekonomi sering dikontraskan dengan model sosial yang menekankan penghilangan hambatan lingkungan dan sosial, bukan menekankan keterbatasan ekonomi individu.