Judul lengkap: Paralisis dan sering lupa: Efek samping ADHD

Hai, aku M! Aku didiagnosa punya ADHD sejak umur sekitar 7–8 tahun. Tapi selama masa sekolah hingga kuliah, aku tidak pernah mendapat treatment yang berlanjut. Alasannya, orangtua cukup konservatif dan kurang memahami ADHD maupun kesehatan mental lainnya.

Sejak sekolah, aku selalu kesulitan fokus belajar dan susah mendapatkan nilai di atas KKM, meskipun saat awal SD aku cukup berprestasi. Aku cenderung tidak menyukai mata pelajaran tertentu, lebih tertarik berkreasi seperti menulis fiksi, menggambar, menulis lagu, bernyanyi, atau membuat video. Bakatku memang lebih terlihat di bidang kreatif dan linguistik.

Saat pra-ujian, aku sering enggan belajar atau tidak bisa fokus sepenuhnya pada materi. Ketika dipaksa orangtua belajar “sungguh-sungguh” dengan melototi buku berjam-jam, aku berpikir: “Aku nggak butuh berjam-jam, cukup 45 menit dengan cara presentasi ke diri sendiri. Belajar lisan, melafalkan materi.” Tapi cara belajar yang berbeda ini tidak pernah diperbolehkan orangtua. Akhirnya, aku percaya bahwa aku memang malas. Nggak termotivasi, nggak kompetitif seperti anak-anak lain, nggak bisa diam, nggak ambisius, dan nggak nurut. Pemikiran itu terbawa sampai dewasa, membuatku merasa aku tidak bisa melakukan apa pun.

Sayangnya, aku baru di-rediagnosis saat usia 23, di masa COVID. Karena orangtua tidak mau membantu, aku harus membayar psikolog sendiri. Tapi hasilnya sangat membuka mata. Ternyata aku memiliki ADHD tipe inatensi (inattentive), dengan depresi dan clinical anxiety akibat akumulasi beban sejak kecil. Psikologku menjelaskan:

“Maybe you already are working hard. You are probably working 4 times harder than everyone else. But you burnout easily, and that's not something everyone experiences.”

Sejak itu, aku mulai memahami bahwa aku bukan malas atau tidak berjuang, melainkan memang caraku berbeda dari orang lain.

Sekarang aku bekerja di sebuah start-up dengan lingkungan yang sangat fast-paced. Nggak jarang aku mengalami executive dysfunction, rejection sensitivity, sensory issues (audio, tactile, bahkan visual) yang mengganggu kinerjaku, buta waktu, serta dua hal yang jadi musuh utama: ADHD paralisis dan sering lupa (forgetfulness). Kedua hal ini membuat keseharianku semakin terhambat, bahkan kadang pekerjaan jadi tidak selesai.

ADHD paralisis di kasusku sering muncul setelah beberapa hari dengan banyak kegiatan yang menguras tenaga. Recovery-nya cukup panjang, bukan hanya karena lelah kerja atau bersosialisasi, tapi bahkan jalan secara fisik pun bisa memicu paralisis.

Karena ini, aku sering ketinggalan deadline (meski akhirnya selesai juga), terlambat, atau bahkan tidak melakukan apa pun dalam periode tertentu. Hobi, makan, minum, bahkan mandi jadi terasa sulit dilakukan karena demotivasi. Hal sekecil apa pun bisa jadi susah. Bukan berarti aku tidak bisa, tapi cara menghadapinya sangat berbeda dari orang neurotipikal. Namun, karena selama bertahun-tahun aku percaya sebaliknya, pemikiran itu masih sulit dihilangkan.

Ketika orang biasa butuh 1 jam untuk menyelesaikan inventory, aku bisa butuh 4 jam. Kadang malah baru bisa mulai sore hari, ketika orang lain sudah hampir selesai bekerja. Saat rekan kerja mengajakku diskusi offline, aku tetap butuh waktu mempersiapkan diri dan recharge energi lewat hobi atau hiperfiksasi (game, film, anime, series). Di tempat kerja, aku butuh stimming untuk menenangkan diri, penjelasan yang jelas dan konsisten ketika diberi assignment, serta kadang suasana baru atau rutinitas berbeda agar tidak jenuh.

Begitu juga dengan masalah lupa. Ibaratnya, otak ADHD hanya punya 4 slot memori yang berfungsi, sementara informasi yang masuk bisa 10–20 per hari. Memory overload! Untuk membantu, aku selalu butuh musik ketika naik kendaraan atau mengerjakan hal rutin seperti excel, menulis, riset konten, mencuci piring, memasak, atau mandi. Aku juga mengandalkan post-it, alarm, timer, sampai menulis di tangan dengan spidol agar tidak lupa.

Aku juga punya sedikit kecurigaan bahwa mungkin aku ada di spektrum ASD. Tapi apa pun itu—ADHD, depresi, atau bentuk disabilitas lainnya—aku percaya bahwa orang neurodivergen selalu berusaha jadi yang terbaik. Meski di mata orang biasa kami tampak malas atau tidak berusaha cukup keras, kenyataannya kami justru sudah berjuang lebih.

Beberapa hal yang sekarang cukup membantuku coping, terutama soal paralisis dan lupa:

  1. Ketemu therapist dan menerapkan metode yang actionable (body doubling, task listing, pomodoro timer, jadwal ADHD-friendly, stim toys, reminders, dll).
  2. Cerita dengan teman, saudara, atau siapa pun yang dipercaya dan juga punya neurodivergency.
  3. Coping lewat hobi/hiperfiksasi seperti game, musik, series favorit, hewan peliharaan, dan lainnya.
  4. Membaca buku tentang neurodivergen seperti How To ADHD, Thrive With Adult ADHD, dan Unmasking Autism.
  5. Mencoba metode hitung mundur dari 5 ke 1 untuk memaksa otak “mulai sekarang juga!”—memberikan efek jump-start pada sistem kita.

Untuk teman-teman neurodivergen yang sedang menempuh akademik atau karier, semangat ya! Kita bukan malas atau buruk, kita hanya berbeda. Kalau butuh waktu lebih lama untuk recharge, jangan ragu memintanya.

Tentang M

M (28) seorang Content Writer yang selalu kesulitan menghadapi paralisis ADHD dan executive function, tetapi ingin terus membuat karya kreatif dalam bentuk tulisan fiktif ataupun non-fiktif, video, maupun creative direction secara general.