Peringatan Konten:
Beberapa bagian dalam tulisan ini membahas pengalaman hidup yang mungkin memunculkan rasa tidak nyaman bagi sebagian pembaca.Saya seorang disabilitas Tuli yang lahir dari kedua orangtua dengar. Saya menjadi Tuli akibat virus, sebut saja Rub***, yang dialami ibu saya saat usia kehamilannya baru dua bulan. Virus tersebut menyerang tiga organ penting: telinga, mata, dan jantung. Akibatnya, saya terlahir Tuli, dengan sedikit juling pada mata kiri. Namun, syukurlah kondisi jantung saya tetap normal.
Perjalanan saya sebagai seorang disabilitas Tuli tidaklah mudah—penuh lika-liku, naik turun, dengan suka dan duka yang silih berganti. Saya telah melalui berbagai pengalaman, mulai dari menempuh pendidikan di sekolah luar biasa (SLB), kemudian pindah ke sekolah umum, hingga akhirnya kuliah di kampus terdekat dari rumah saya.
Di awal masa kuliah, saya sempat salah memilih jurusan. Namun, saya tidak menyerah. Selama empat tahun saya berjuang menyelesaikan perkuliahan, termasuk menjalani magang dan menyusun skripsi. Saya pun tidak luput dari perlakuan yang tidak menyenangkan—diabaikan atau dianggap tidak mampu dalam tugas individu maupun kelompok baik di sekolah umum maupun di bangku kuliah, semata-mata karena kedisabilitasan saya.
Meskipun kondisi mental saya sempat terganggu akibat perlakuan tersebut kadang merasa stres dan bahkan depresi, saya tetap berusaha kuat dan percaya bahwa saya bisa melewati masa-masa sulit itu.
Setelah lulus kuliah, saya kembali menghadapi tantangan dalam mencari pekerjaan yang sesuai dengan pengalaman saya, di tengah kondisi negara kita yang masih belum sepenuhnya inklusif dan aksesibel bagi penyandang disabilitas. Saya sudah memperbarui CV dan melamar ke sejumlah perusahaan yang saya harapkan, namun sampai saat ini belum ada panggilan. Padahal, saya telah mencantumkan pengalaman kerja, keterampilan yang saya miliki, serta berbagai kelebihan bukan hanya kekurangan saya sebagai disabilitas.
Terakhir kali saya bekerja di sebuah perusahaan di Jakarta Selatan, yang saya selesaikan tahun lalu.
Dari cerita dan pengalaman teman-teman disabilitas lainnya, saya mengetahui bahwa masih banyak perusahaan yang belum siap menerima disabilitas. Beberapa bahkan mengalami kesulitan menggaji karyawan karena faktor keuangan. Selain itu, banyak perusahaan lebih memilih kandidat berusia muda atau dari generasi Z, yang membuat saya merasa sedih dan stres. Namun, saya tidak menyerah. Saya tetap bersemangat untuk melamar pekerjaan dan terus mengikuti pelatihan keterampilan (upskilling).
Melalui kisah saya di atas, harapan saya adalah agar semakin banyak perusahaan bersedia berkolaborasi dengan lembaga-lembaga yang fokus pada isu disabilitas untuk menyelenggarakan pelatihan atau program pengembangan melalui inisiatif DEI (Diversity, Equity, and Inclusion), seperti bekerja sama dengan Kerjabilitas, Difalink, atau Konekin.
Kolaborasi tersebut dapat mencakup pelatihan Bahasa Isyarat, pengenalan budaya Tuli, serta pemahaman tentang inklusivitas. Dengan demikian, perusahaan akan lebih siap dan berkomitmen dalam mempekerjakan teman-teman disabilitas secara berkelanjutan, sehingga tercipta lingkungan kerja yang setara, inklusif, dan bebas dari diskriminasi.